Langsung ke konten utama

Hanya Guru SD?



“Selamat siang anak-anak. Jangan lupa tugasnya dikerjakan dan dikumpulkan minggu depan ya.” Aku tersenyum.
“Iya bu.” Anak-anak berbaris berebut meraih tanganku dan menciumnya. Terasa menyenangkan setiap hari bergelut dengan anak-anak polos nan lucu.
Aku mengajar di sekolah dasar di desa kecil bagian utara Provinsi Jawa Tengah. Bukan inginku menjadi seorang guru. Kemauan orang tualah yang mengantarku hidup ditengah-tengah anak-anak kecil. Dulu aku ingin sekali menjadi seorang psikolog yang bisa mengetahui sifat-sifat orang hanya dari struktur wajahnya. Namun sekarang, aku sangat mencintai dunia anak-anak. Dunia bermain. Aku bahkan sudah mengubur dalam-dalam keinginanku menjadi seorang psikolog sejak beberapa tahun lalu.
“Akhirnya hari sabtu juga. Saatnya bersantai.” Aku bergumam sendiri di depan kaca toilet sekolah. Aku bergegas membereskan barang-barangku ke dalam tas. Lima menit kemudian aku sudah memacu motor matik kesayanganku. Pulang.
“Ah hampir lupa. Ibu memintaku membeli detergen dan perlengkapan dapur.” Aku segera berbalik arah ke arah kota. Semua keperluan di desaku memang harus dibeli di kota. Medan yang jauh tanpa ada tranportasi umum membuat kami sedikit kewalahan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untunglah ada si merah, matik kesayanganku.
Sampailah aku di supermarket langgananku. Terpampang tulisan besar family-mart. Aku segera menuju ke rak bagian sabun dan lain-lain. Aku asik memilih sabun keluaran terbaru yang berderet rapi di rak.
“Hei ra. Apa kabar?” Sosok wanita cantik berjilbab biru muda mencolek punggungku dan menyapaku riang. Suara itu tidaklah asing. Aku menoleh.
“Hai. Baik. Kamu?” Aku bercipika-cipiki layaknya artis bertemu artis. Ternyata sahabat lamaku. Nadya.
“Sekarang bekerja dimana? Jadi bu camat?” Nadya bertanya dengan wajah khasnya. Cengengesan.
“Bu camat? Aku ngajar di Sd Nad” aku tersenyum bangga.
“Jangan bohong Ra. Dulu kamu anti banget sama anak kecil, mana mungkin kamu jadi guru Sd yang setiap hari harus bercengkrama dengan anak-anak ingusan yang polos itu.” Nadya memonyongkan bibirnya. Dia benar-benar tidak percaya mendengarkan jawabanku.
“Aku serius Nad. Lihat aku memakai seragam apa.” Aku mengangkat bahuku. Menunjukkan seragam kebanggaanku. Seragam coklat khas guru sd.
“Kamu sendiri sekarang gimana Nad?” Aku bertanya balik kepada Nadya yang masih terlihat tidak percaya padaku bahwa aku menjadi seorang guru Sd.
“Aku sekarang jadi designer utama di salah satu perusahaan di kota Solo Ra. Sama seperti cita-cita yang ku tulis dulu di buku persahabatan kita.” Nadya dengan penuh percaya diri menjelaskan kehidupannya yang sekarang. Dia memang selalu tampil modis dari dulu. Aku tak heran jika dia benar-benar menjadi ahli fashion sekarang.
“Wah hebat Nad. Selamat ya.” Aku tersenyum lebar. Ikut berbahagia.
“Oh iya. Aku buru-buru nih harus segera pergi ke Solo lagi. Ini kartu namaku. Nanti telfon aku ya. Biar kita bisa curhat-curhatan seperti dulu Ra. Aku kangen kamu loh.” Nadya menjabat tanganku erat. Dan sekali lagi kami bercipika-cipiki. Aku memandangi punggungnya yang menghilang di balik rak-rak makanan ringan.
Sesampainya di rumah, aku teringat ketika dulu aku dan Nadya berada di bangku SMA. Kami selalu menyemangati satu sama lain untuk meraih cita-cita, untuk selalu semangat belajar. Aku selalu menulis kata “psikolog” di semua sampul buku pelajaran. Begitu pula Nadya, ia menuliskan “designer” di semua sampul bukunya.
Setelah lulus SMA, kami berpisah. Melanjutkan hidup masing-masing karena Nadya harus berpindah ke Jakarta mengikuti ayahnya yang selalu berpindah-pindah tempat bekerja.
“Naura. Sudah ikuti saja kata ayahmu. Jangan membantah.” Ibuku membelai rambutku yang panjang dengan tangannya yang lembut penuh kasih sayang. “Ibu yakin, ayahmu ingin kamu mendapatkan yang terbaik.” Ibuku tersenyum. Menenangkanku.
“Tapi bu, aku tidak ingin menjadi guru sd. Aku ingin menjadi psikolog!” Tidak sengaja aku mengeluarkan kalimat itu dengan Nada membentak.
“Apa? Kamu mau setiap hari bergelut dengan orang-orang gila. Kamu mau  ikut-ikutan gila!” Bentak ayahku. Tidak biasanya beliau berbicara seperti itu padaku. Terlihat gurat emosi di wajahnya yang menjadi merah padam saat menatapku.
Aku menangis dipelukan ibuku. Menangis menyesali keputusan ayahku yang tidak mengizinkan aku melanjutkan kuliah di jurusan psikologi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pasrah dengan semua ini.
“Semua ada di tanganmu Ra. Putri cantik ayah. Kamu kuliah di jurusan pgsd atau tidak usah kuliah sama sekali. Jika kamu tidak kuliah ayah nikahkan kamu dengan putra bapak Laksono yang menjadi kepala sekolah termuda di kecamatan ini.” Meski suaranya melemah akan tetapi tatapan ayahku penuh dengan ketegasan. Seolah ini perintah yang harus segera dilaksanakan.
Aku semakin keras menangis bak bocah yang tidak diberi permen oleh ayahnya. “tidak mau ayah. Iya aku kuliah di PGSD.”
Beberapa semester aku menjalani perkuliahan di pgsd dengan seadanya, tidak ada semangat. Hanya formalitas berangkat dan mengerjakan tugas tanpa ada jiwa di dalamnya. Justru aku lebih senang menyibukkan diri di kegiatan-kegiatan luar kampus. Menghilangkan penat dan stress karena aku merasa gagal mencapai impian yang aku idam-idamkan.
Suatu hari aku bertemu dengan gadis kecil yang cantik setelah  melaksanakan observasi di salah satu sd di sekitar kampus.
“Dek namanya siapa?” Aku tersenyum. Dia menjabat tanganku lalu menciumnya. Memperlakukanku layaknya guru mereka.
“Halo ibu guru cantik. Namaku Resti.” Suara polos khas anak-anak. Dia menjawab dengan wajah riang seolah tidak ada beban di hidupnya.
“Resti nanti kalau sudah besar mau jadi apa? Dokter?” Aku bertanya pada gadis itu. Pertanyaan basa-basi yang biasa dilontarkan untuk anak-anak yang baru ditemui.
“Tidak ibu guru cantik. Aku ingin menjadi seperti ibu guru Ana. Sudah cantik, pintar, ramah. Pokoknya nanti kalau sudah besar aku ingin menjadi seperti ibu guru Ana.” Gadis itu menunjuk salah seorang guru yang lewat lorong depan kelas tempat aku duduk bersama Resti. Orang yang ditunjuk Resti terlihat begitu anggun dan berwibawa.
“Resti tidak ingin menjadi dokter?” Aku bertanya pada gadis kecil itu.
“Tidak bu. Aku takut dengan dokter soalnya sering bawa-bawa suntikan.” Ekpresinya menirukan orang yang kesakitan. Mungkin ia pernah disuntik oleh dokter. “aku ingin menjadi ibu guru saja. Biar banyak orang yang suka. Bisa membuat anak-anak pintar dan banyak ilmu.” Tambahnya dengan nada tulus.
Sontak aku seperti tersambar petir. Hatiku bergetar mendengar penyataan tulus bocah berusia kisaran sembilan tahun itu. Bagaimana mungkin aku yang saat ini menjadi calon seorang guru tidak bisa berpikir sebegitu dewasanya. Aku malu dengan Resti. Aku malu berlaku kekanak-kanakan dan egois dengan impianku sendiri. Sejak saat itu aku mulai sadar jika menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan hina. Seharusnya aku bangga menjadi sosok yang dijadikan panutan oleh anak-anak polos penerus bangsa ini. Guru adalah pekerjaan mulia.
Akhirnya aku dapat lulus dan menjadi seorang guru dengan semangat di sisa-sisa semester setelah aku bertemu dengan gadis ajaib itu. Resti.
Handphone ku bergetar tanda ada pesan singkat masuk. Aku terkejut membaca pesan tersebut bahwa akan ada reuni SMA bulan September, dua bulan lagi. Tepat seminggu setelah lebaran.
“Datang, tidak, datang, tidak.” Aku berpikir keras menentukan akan datang atau tidak. Lagi-lagi masalah statusku yang guru sd ini yang menjadi masalah. Aku tidak bisa membayangkan jika harus menjelaskan kepada semua teman-temanku bahwa aku kini menjadi guru sd. Dulu aku adalah termasuk anak populer di sekolah karena prestasi akademik dan aktif di osis. Lagi-lagi keraguan muncul di benakku.
Akhirnya hari yang dinanti-nanti tiba. Aku yakin melangkah masuk ke dalam gedung sekolah yang terlihat lusuh dimana dulu aku menimba ilmu. Dengan mengenakan rok abu-abu dan kemeja dengan warna senada. Ragu-ragu aku melangkah. Menengok kanan kiri mencari teman-teman seperjuanganku dulu.
Tepat di depan ruang kelas aku bergetar. Ragu-ragu ingin balik arah kembali pulang. Tapi terlambat, suara berat seseorang trelah memanggil namaku.
“Naura. Ayo masuk. Sudah di tunggu teman-teman nih.”Pasti itu suara Rendi. Si bocah usil.
Aku melenggang masuk. Berlagak percaya diri seperti aku dulu yang selalu percaya diri melakukan sesuatu.
“hai teman-temanku tercinta. Maaf terlambat.” Aku segera duduk di kursi yang kosong, sebelah Rendi.
Setelah acara basa-basi seperti pembukaan dan sambutan panitia kini tibalah saatnya acara yang benar-benar tidak ingin aku ikuti.
“Oke. Sekarang kita mulai sesi cerita kehidupan masing-masing ya. Satu persatu bergantian.” Suara Anis pemandu acara reuni kali ini menginstruksikan dengan jelas.
“Oke.” Suara serentak dari dalam kelas pertanda setuju.
“Aku masih mengamati tampilan teman-temanku. Semua terlihat berpakaian rapi. Sepertinya mereka sudah mencapai semua cita-cita mereka. Rendi si bengal ini pun sama. Terlihat seperti seorang bos.” Aku bergumam dalam hati.
“Hai teman-teman. Masih ingat aku kan? Ya. Sekarang aku tinggal di Bogor. Aku bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan asing.” Suara Yunita mengiang di telingaku. Dia lanjut menceritakan kehidupannya yang sekarang. Aku tidak memperhatikan karena aku sudah terpaku pada pernyataannya barusan tentang sekretaris di perusahaan asing.
“Hallo semua. Senang bisa bertemu lagi dengan kalian. Namaku masih sama, Renata.” Sontak teman-teman semua tertawa. Renata ini cantik tapi senang melucu membuat suasana mencair dan hangat. “Aku sekarang menjadi owner di tiara bakery. Sekarang aku sudah menikah dan mempunyai 3 anak.” Benar-benar gila. Renata pemilik dari tiara bakery? Toko roti terkenal yang masuk jajaran toko elit di Jawa Tengah, bahkan Indonesia.
Satu persatu teman-teman ku maju ke depan kelas. Seperti ketika presentasi dulu. Semua dengan percaya diri maju mengenalkan dan berbagi cerita tentang kehidupannya yang sekarang. Tibalah saat dimana namaku di sebut.
“selanjutnya Naura Prabo wiyoko.” Anis menyebut namaku keras-keras layaknya memanggil artis populer ternama.
Aku melangkah maju penuh keragu-raguan. Sesampainya di depan kelas entah apa yang membuatku bergetar. Aku tiba-tiba teringat wajah Resti. Wajahnya yang tulus ingin menjadi sosok seorang guru. Aku harus bangga.
“Selamat siang teman-teman. Masih ingat aku kan? Mana mungkin pada lupa sama aku.” Aku berusaha bergurau. Memecah kekakuan yang aku buat sendiri.
“Mana mungkin lupa sama sekretaris kelas dan wakil ketua osis.” Rendi menimpali disambut dengan sorak sorai teman-teman yang lain. Aku melihat wajah-wajah terbengong seolah menanti ceritaku selanjutnya.
“Aku sekarang menjadi seorang guru SD di salah satu sekolah negeri. Sehari-hari aku bertemu dengan anak-anak polos yang tulus melakukan segala sesuatu.” Belum selesai aku bercerita. Aku mendengar celetukan suara dari salah satu temanku, Rani.
“Hah. Kamu jadi guru? Serius? Cuma guru SD?” Suaranya meninggi.
“Eh jangan salah teman-teman. Bukannya aku membela dan meninggikan profesiku saat ini. Tapi pernah gak sih berpikir apa jadinya jika tidak ada sosok guru sd. Apa mungkin kita bisa menjadi sesukses sekarang. Apa kita bisa baca tulis. Mahir berhitung. Bisa menjadi owner di toko tersohor, menjadi bos di perusahaan, menjadi sekretaris di perusahaan asing dan menjadi orang-orang besar lainnya. Bahkan presiden.” Suaraku melemah. Aku menangis di depan teman-temanku. Mengingat sosok guru sd ku, ibu Wahyuni.
“Aku tahu bahwa guru SD bukanlah profesi yang wah dan menjanjikan material. Akupun berpikir sama, tapi itu dulu. Sekarang aku bangga menjadi seorang guru. Bisa belajar banyak hal dari anak-anak polos yang selalu jujur. Bisa menghilangkan penat dengan bermain-main dengan mereka. Bisa menularkan ilmu-ilmu kecil yang berguna. Bahkan aku yang belajar dari mereka. Guru Sd bukan Hanya sekedar guru sd. Guru sd adalah ujung tombak kemajuan negeri ini yang tidak banyak diperhatikan oleh berbagai kalangan termasuk kalian.” Aku mencurahkan semuanya di depan teman-teman SMA ku.
Mereka terlihat tidak percaya dan amat bersalah. Aku melangkah menuju tempat dudukku. Mengambil tas dan melangkah pergi. Aku kecewa dengan semua orang. Semua orang menganggap guru sd bukanlah apa-apa. Bisa apa mereka tanpa seorang guru SD, hah? Bisa apa?!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerennya Ayahku

Aku seorang gadis berasal dari desa, bukan pelosok, hanya sedikit jauh dari kota. Aku tidak mau dikatakan berasal dari pelosok karena nyatanya aku bisa mengakses internet dengan lancar. Menurutku indikator pelosok adalah tidak ada signal dan jaringan internet. Tetapi bukan masalah ini yang akan aku ceritakan.  Saat ini aku sedang berada di lantai dua rumah kos di tanah rantau. Ceritanya aku sedang merantau di kota orang untuk mencari ilmu. Meski tidak begitu jauh tetapi jarak kota kelahiran dengan kota rantau membuatku harus pulang hanya satu bulan sekali. Aku adalah putri satu-satunya dari pasangan manusia yang hebat, mereka kusebut Ayah dan Ibu.  Malam ini indah, bulan sempurna bulat dan bintang bertaburan di angkasa. Saat aku memandang bulan, aku teringat Ayahku. Ayahku seperti bulan. Dia menjadi sumber cahaya di dalam keluargaku. Ah.. aku suka sekali berbicara tentang hal ini. sangat amat suka. Kalian tahu bukan hidup di tanah rantau tidaklah mudah, tidak mudah ...

Betapa menggemaskannya anak-anakku

           Hai gais, bagaimana kabarnya? Semoga kalian saat membaca ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ya. wkwk. Lama tidak berjumpa, Alhamdulillah hari ini bisa menuliskan kembali apa yang ada dipikiranku. Setelah sekian lama lupa bagaimana mengungkapkan rasa lewat tulisan, akhirnya hari ini mencoba menulis kembali.              Nah hari ini aku ingin menceritakan bagaimana serunya menjadi teman bermain anak-anak gemes nan lucu. Setiap pagi aku sudah harus berada dimana mereka menantiku. Senang rasanya disambut dengan wajah yang lugu dan lucu, menghampiriku, meminta berjabat dan mencium tanganku. Akupun selalu membalas setiap sapaan mereka dengan senyum merekah, merekapun kembali berlari bermain bersama. Menyenangkan sekali melihatnya.                Anak-anakku berasal dari banyak latar belakang, dari berbagai macam bentuk keluarga, dan berbagai macam pola asuh ya...

Jangan Menjadi Bodoh (Lagi)

 Saat ini aku sedang duduk di balkon lantai dua rumahku. Ditemani segelas kopi panas favoritku, tak ketinggalan novel keluaran terbaru karya penulis hebat negeri ini. Sesekali aku membaca novel tersebut, sesekali aku merenung memandang langit yang sendu malam ini. Tiba-tiba saja aku merasa kacau dan sedih. Seharusnya aku tidak sendirian malam ini. Aku telah berstatus istri sejak setahun yang lalu. Ya.. aku telah dipinang oleh seorang pria berperawakan tinggi, gagah dan wajah idaman semua wanita. Tapi bukan itu yang membuatku yakin untuk menjadi miliknya. Ayah dan ibukulah alasannya. Mereka berdua. Aku bahagia memiliki lelaki seperti dia, awalnya. Bukan aku tak bersyukur, tetapi jika kalian tahu apa yang aku rasakan sekarang tentu kalian akan paham. Hambar. Hampa. Harusnya aku masih bahagia saat ini bersamanya menghabiskan waktu berdua. Bercengkrama. Menjalin keluarga kecil bahagia. Tetapi nyatanya aku duduk sendirian  malam ini, lagi. Suamiku sedang berada dikantor, dia m...