Langsung ke konten utama

Jangan Menjadi Bodoh (Lagi)

 Saat ini aku sedang duduk di balkon lantai dua rumahku. Ditemani segelas kopi panas favoritku, tak ketinggalan novel keluaran terbaru karya penulis hebat negeri ini. Sesekali aku membaca novel tersebut, sesekali aku merenung memandang langit yang sendu malam ini. Tiba-tiba saja aku merasa kacau dan sedih. Seharusnya aku tidak sendirian malam ini. Aku telah berstatus istri sejak setahun yang lalu. Ya.. aku telah dipinang oleh seorang pria berperawakan tinggi, gagah dan wajah idaman semua wanita. Tapi bukan itu yang membuatku yakin untuk menjadi miliknya. Ayah dan ibukulah alasannya. Mereka berdua.

Aku bahagia memiliki lelaki seperti dia, awalnya. Bukan aku tak bersyukur, tetapi jika kalian tahu apa yang aku rasakan sekarang tentu kalian akan paham. Hambar. Hampa. Harusnya aku masih bahagia saat ini bersamanya menghabiskan waktu berdua. Bercengkrama. Menjalin keluarga kecil bahagia. Tetapi nyatanya aku duduk sendirian  malam ini, lagi. Suamiku sedang berada dikantor, dia mengirimiku pesan sejam yang lalu, katanya lembur. Lagi-lagi dia harus pulang malam.

Bukan apa-apa, aku mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Sampai saat ini lelaki itu masih sangat menyayangiku. Ia selalu memperlakukanku seperti ratu, masih sama seperti pertama bertemu. Laki-laki yang kusebut suami itu masih memberiku hadiah dan kejutan yang menyenangkan. Ah ya, seharusnya aku senang. Tapi nyatanya aku biasa saja, sesekali aku tersenyum saat ia memberiku hadiah, agar ia tidak kecewa. Apa aku jahat? Entah.

Kulirik jam di smartphone-ku, sudah tengah malam rupanya. Tepat pukul setengah satu. Lelaki itu belum pulang juga. Dia memang pria pekerja keras, dan aku mulai tidak menyukai hal itu.

Aku memutuskan untuk berpindah ke kamar karena udara malam semakin dingin. Ralat, udara pagi. Baru saja aku mematikan lampu kamar, terdengar suara mobil lelaki itu datang. Aku bergegas menyambutnya ke depan pintu.

Aku sambut dia dengan senyuman.
“Mas, bagaimana di kantor?” aku berbasa-basi.

“banyak pekerjaan nta, maaf ya aku lembur terus, jadi waktu buat kamu berkurang.” Dia mengecup keningku kemudian melangkah masuk ke rumah. Aku membuntutinya.

“janji loh ya, hari minggu harus free. Aku mau jalan-jalan.” Rayuku.

“emm..gimana ya. Oke lah. Nanti aku bilang sama Nadya biar aku bisa free hari minggu ini. apa sih yang enggak buat kamu nta.”

“kalau gak bisa, aku ngambek ah. Ngambek nih, ngambek loh.” Sekali lagi aku menggodanya.

“Mandi gih, mau minum kopi atau teh?” meski hatiku mulai hambar pada lelaki itu, aku harus tetap melayani sebagaimana mestinya. Aku adalah istrinya, masih istrinya. Aku harus selalu menjadi istri yang baik sebagaimana dia menjadi suami yang baik untukku. Prinsip yang selalu kupegang saat aku benar-benar payah menghadapi hatiku sendiri.

“tidak usah nta, aku mau langsung tidur saja nanti setelah mandi.” Dia melangkah menuju kamar mandi.
**
Hari ini hari minggu. Hari malas nasional. Hari libur nasional. Hari liburan nasional. Hari apel nasional. Hari apa lagi? Ah ya, hari dimana lelaki itu akan mengajakku liburan. Lebih tepatnya aku memaksa agar dia mengajakku berlibur. Singkatnya, aku yang mengajaknya liburan. Untuk apa uang banyak jika tidak menikmatinya, pikirku.

“Mas, mau kemana kita hari ini?” aku mengerlingkan sebelah mata. Kode.

“Kemana ya nta, kamu lagi pengen kemana?”

“Aku ingin ke pantai. Lama tidak lihat air banyak.” Aku tertawa.

“Nah itu di kamar mandi banyak air nta, sama saja air kan?” Lelaki tertawa memperlihatkan gigi putihnya. Manis. Tampan. Sempurna.

Aku mengernyitkan dahi. Pura-pura sebal mendengar jawabannya barusan. Lalu aku mendekat kepadanya. Membisikkan sesuatu.

“gimana kalau hari ini kita pergi memancing saja?” aku berbisik tepat di depan telinganya.

Dia berbalik berbisik kepadaku. “oke nta, let’s go, berangkat.”

Tak berapa lama kami sudah sama-sama siap berangkat ke laut untuk memancing. Aku dan lelaki itu memang sama-sama suka memancing. Dulu kami bertemu juga saat memancing. Pertemuan yang aneh dan menggelikan.

“Nta, ayo berangkat.” Lelaki itu memanggilku. Dia selalu memanggil dengan sebutan Nta. Panggilan sayang katanya. Bukan diambil dari namaku, tapi dari kata Cinta. Biar lebih mesra.

“Siap bos. Berangkat.” Aku sumringah. Siap berangkat ke medan pertempuran. Segala peralatan sudah siap. Semua peralatan sudah berada dipundakku.

Kami bersama-sama melangkah ke depan. Setelah duduk di mobil dan siap berangkat tiba-tiba saja handphone lelaki itu berbunyi. Dengan cepat-cepat ia angkat.

“nandya nta, sebentar ya?” Nadya adalah sekretarisnya di kantor. Aku sudah mengenalnya. Dia lebih tua dari umur lelaki itu. Terlihat ramah dan menyenanagkan.

“oke.” Aku mengangguk.

“Ada apa Nad. Saya kan hari jadwalnya free?” suara lelaki itu terdengar kesal.

“bagaimana mungkin. Dia sudah terblokir dari jaringan. Mana mungkin dia bisa merebut peluang kita. Tidak mungkin!” suara laki-laki itu meninggi. Sepertinya ia sedang benar-benar kesal.

“iya. Atur meeting satu jam lagi bersama semua koordinator. Saya ke kantor sekarang.” Muka lelaki itu berubah menjadi cemberut. Entah apa yang terjadi.

“Nta, maaf.” Dia menatapku tajam. Aku tak kuasa melihatnya. Wajahnya yang putih bersih menyisakan kerutan di dahi, ekspresi sedih.

“Ada apa mas. Gagal pergi, lagi?” jawabku dengan nada lemah. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Persis seperti minggu-minggu yang lalu.

“maaf nta, ada masalah di kantor. Mendadak. Urgent. Tidak bisa ditinggal. Aku harus turun tangan.” Terdengar nada penyesalan diantara kata-kata yang lelaki itu ucapkan.

Aku hanya mengangguk. Kemudian tersenyum. Aku berjalan gontai ke dalam rumah. Kuletakkan peralatan yang telah aku persiapkan di meja. Lantas aku duduk di kursi ruang tamu. Hari ini cuaca panas. Hawa panas ikut masuk ke dalam ruangan. Menambah panas suasana hati. Aku benci.
**
Lagi-lagi aku sendiri. Melamun. Entah apa yang aku fikirkan. Tiba-tiba saja aku teringat lelaki sederhana itu. Wajahnya manis, kulit sawo matang, bersih, enak dipandang. Mungkin ia juga idaman banyak wanita. Ia seorang Teknisi mesin.

Dua tahun lalu. Ya aku ingat persis dua tahun lalu ia menemuiku, menyatakan perasaannya. Ia melamarku. Dia baik, santun dan sederhana. Tanpa kusadari aku tersenyum teringat laki-laki itu, Farhan.

“Len, apa aku boleh memilikimu seutuhnya?” dia menatapku tajam. Matanya berbinar. Terpancar gejolak disana. Yang aku tahu dia serius.

Aku hanya melongo mendengar perkataanya barusan. Lidahku kelu. Tak mampu berucap.

“Len, apa kamu butuh waktu buat jawab ini?” dia melebarkan pupil matanya. Lebih mendekat. Lebih serius dari perkataan sebelumnya.

Aku bergidik. Merinding. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Entah.

“Tidak.” Akhirnya satu kata keluar dari bibirku.

“aku tidak butuh waktu Far, maafkan aku. Aku tidak bisa.” Sedetik kemudian air mataku tumpah. Entah apa yang membuatnya keluar begitu saja. Aku tak tahu.

Farhan tersenyum.
“terimakasih sudah menjawabnya Len. Aku mengerti.” Sekali lagi dia tersenyum. Tidak ada gurat sedih di wajahnya. Hanya senyum kecewa yang terlihat. Dia begitu dewasa kala itu. Wajahnya teduh, menenangkan.

Ah laki-laki itu. Aku benar-benar menginginkannya.

Kami berdua terdiam. Kala itu kami sedang berada di taman kota. Aku ingat malam itu malam minggu. Malam syahdu para muda-mudi memadu cinta. Tapi tidak denganku. Malam itu menjadi awal penyesalanku.

Farhan adalah sahabat lamaku. Aku kenal betul siapa dia. Dia benar-benar anak baik. Mungkin jika kalian melihatnya kalian akan langsung jatuh cinta. Sama sepertiku, dulu.

Aku juga mencintainya. Tapi sahabatku lebih mencintainya. Itu yang membuatku berat melepasnya, meski akhirnya aku benar-benar melepaskannya. Sahabat baikku menyukainya, Ina.

Bermula pertemuan Ina dengan Farhan yang kebetulan berada di rumahku. Mereka kemudian berkenalan dan sialnya, Ina jatuh hati. Aku tidak bisa menyalahakan siapapun. Ina? Tidak. Dia sahabat baikku. Sudah seperti saudara. Farhan? Tidak. Dia tidak berbuat apa-apa, sama sekali tidak salah.

Aku memutuskan untuk melepas Farhan, lelaki yang aku cintai, dulu. Dan mungkin saat ini masih ada rasa itu. Ah tidak. Aku mencintai suamiku, Mas Tiyan.  Ah sial. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Ada penyesalan saat ini.

Saat ini aku masih diruang tamu rumahku. Udara masih panas, semakin panas. Ditambah lagi dengan pergolakan hati yang membuat semua ini terasa panas. Ditengah lamunanku aku tahu persis bahwa aku tidak benar-benar mencintai suamiku. Lebih tepatnya aku masih berusaha mencintainya. Belajar mencintainya.

Entah bagaimana kabar Farhan sekarang. Sejak saat itu aku lebih memilih menjauh. Bukan mauku, tetapi aku melakukannya. Apa aku bodoh? Entah. Waktu demi waktu berlalu dan aku mulai tersadar betapa bodohnya aku. Dia telah pergi. Entah kemana ia pergi. Kita benar-benar tidak bertemu lagi setelah malam itu.

“Melepas orang berharga demi orang yang berharga pula. Harga yang setimpal.” Pikirku.

Aku tidak boleh menjadi bodoh lagi dengan melepas dan menyia-nyiakan orang yang mencintaiku. Cukup Farhan. Jangan lagi. Aku tak akan menjadi bodoh untuk kedua kalinya. Ya. Aku akan mencintai suamiku. Belajar untuk terus mencintainya hingga aku benar-benar mencintainya.
**
Masih diruang tamu. Aku merasa hidup sendiri, benar-benar sendiri. Meski aku sibuk dengan pekerjaanku tetap saja aku seperti hidup sendiri. Lelaki itu lama-lama semakin gila kerja. Aku benci.

Sore hari tiba. Suara mobil lelaki itu datang. Meski hatiku masih dongkol dan sebal, apapun perasaan itu aku abaikan. Aku harus tetap melayaninya, belajar mencintainya sebagai seorang suami. Ya, aku sudah memutuskan untuk itu.

“Gimana mas, sudah bereskah masalah kantor?” lagi-lagi aku berbasa-basi. Berusaha menutupi kekecewaanku kepadanya.

“Lagi berusaha nta, semoga tidak terjadi apa-apa.” Wajahnya kali ini lelah. Terlihat lelah. Kuyu. Keringat mengucur di dahinya. Sepertinya dia benar-benar mengalami masalah serius kali ini.

“Aku mandi dulu ya nta, bau. Nanti kamu enggak mau deket-deket aku lagi. Muah.” Dia masih saja bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

Ish genit.” Aku pura-pura menghindar.

Dia berbalik. “kamu tidak usah masak nta, nanti malam makan diluar aja. Oke?” dia bergegas ke kamar.

Aku hanya mengedipkan mata, tanda setuju.
**

“enak gak nta, enak kan?”

“emm. Enak. Pake banget.” Irisan seafood lezat itu aku masukkan ke mulut. Benar-benar enak. Aku tersenyum.

“nta, maafin aku ya. Kita gagal terus mau liburan.” Lelaki itu menatapku. Matanya membuatku benar-benar tidak bisa mengatakan hal lain selain “iya, tidak apa-apa.” Padahal hati ingin bilang “Gak mau, kamu harus ganti liburan kita yang gagal ke luar negeri.”

Saat ini kami sedang makan di kedai seafood terlezat di kota ini. Rumornya sih ini tempat favorit pecinta seafood. Saat ini benar-benar telah kubuktikan bahwa itu benar adanya, bukan cuma rumor. Makanannya benar-benar enak. Bikin ketagihan.

Makanan di piringku sudah ludes, berpindah ke perutku. Mantap.

“nta?” suaranya lirih. Seperti menahan sesuatu.

“ya?” aku menjawab sekenanya. Aku menatap matanya. Menanti apa yang akan ia bicarakan setelah ini.

“kamu cinta aku, kan?” dia mengatakannya seolah dia tidak ingin mengatakannya.

Aku tersenyum. Aku mengangguk. Aku masih menatap matanya. Kali ini matanya mulai berkaca-kaca.

“makasih nta, tapi seingetku, kamu belum pernah bilang I love you or something sweet, mungkin memang kamu gak romantis. Sudahlah. Yang penting kamu cinta aku. Titik.” Dia mengomel manja. Kulihat air matanya menetes. Dia berusaha menyembunyikannya, tapi aku melihatnya. Dia tersenyum.

“Astaga. Masak sih mas?” aku terkejut. Aku benar-benar tidak menyadari bahwa aku tidak pernah mengatakannya. Aku menunduk malu, merasa bersalah.

Beberapa detik kemudian aku mendongakkan kepala. Melihat wajahnya. Aku benar-benar merasa mencintainya sekarang. Tulus dari hati. Detik ini aku pertama kali merasa mencintainya secara utuh, sebagai seorang suami.

“mas, lihat aku.” Aku berbisik pelan. Hampir tak terdengar.

“Aku mencintaimu, suamiku. Benar-benar mencintaimu. Maafkan istrimu yang tidak romantis ini, bahkan aku tidak menyadarinya. Setelah ini, aku akan mengucapkan I love you setiap hari.” Masih berbisik. Aku mendekatkan wajahku agar ia mendengarku.

Suamiku tersenyum. Lagi-lagi wajahnya yang tampan sungguh mempesona. Kali ini benar-benar bahagia melihatnya.

“Ada satu hal lagi sayang.” Aku menambahkan.

“setelah ini, setiap hari minggu kau milikku. Tidak peduli ada masalah apa dikantormu, aku akan menyanderamu. Seharian kau harus bersamaku. Titik.” Aku menyeringai. Mengancam.

Lelaki dihadapanku itu melongo. Setengah tidak percaya.

No complain.” Aku menggeleng. Tanda tidak boleh ada yang menganggu keputusanku ini.
“Iya nta. Hari minggu aku milikmu.”  Mas Tiyan tertawa.

Aku ikut tertawa lepas, bahagia.

Setelah ini aku tidak akan pernah menjadi bodoh lagi. Mencintai orang yang mencintaiku. Menyayangi orang menyayangiku. Peduli dengan orang peduli denganku. Mengucapkan apa yang harus diucapkan. Tidak perlu ada yang ditutupi. Semua akan baik-baik saja.

I love you so much, nta.” Kali ini aku memanggilnya dengan panggilan sayangnya kepadaku.
Dia kaget. Tersenyum.

Love you more, nta.” Sekali lagi dia tersenyum.


“Senyuman yang indah.” gumamku dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerennya Ayahku

Aku seorang gadis berasal dari desa, bukan pelosok, hanya sedikit jauh dari kota. Aku tidak mau dikatakan berasal dari pelosok karena nyatanya aku bisa mengakses internet dengan lancar. Menurutku indikator pelosok adalah tidak ada signal dan jaringan internet. Tetapi bukan masalah ini yang akan aku ceritakan.  Saat ini aku sedang berada di lantai dua rumah kos di tanah rantau. Ceritanya aku sedang merantau di kota orang untuk mencari ilmu. Meski tidak begitu jauh tetapi jarak kota kelahiran dengan kota rantau membuatku harus pulang hanya satu bulan sekali. Aku adalah putri satu-satunya dari pasangan manusia yang hebat, mereka kusebut Ayah dan Ibu.  Malam ini indah, bulan sempurna bulat dan bintang bertaburan di angkasa. Saat aku memandang bulan, aku teringat Ayahku. Ayahku seperti bulan. Dia menjadi sumber cahaya di dalam keluargaku. Ah.. aku suka sekali berbicara tentang hal ini. sangat amat suka. Kalian tahu bukan hidup di tanah rantau tidaklah mudah, tidak mudah ...

Betapa menggemaskannya anak-anakku

           Hai gais, bagaimana kabarnya? Semoga kalian saat membaca ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ya. wkwk. Lama tidak berjumpa, Alhamdulillah hari ini bisa menuliskan kembali apa yang ada dipikiranku. Setelah sekian lama lupa bagaimana mengungkapkan rasa lewat tulisan, akhirnya hari ini mencoba menulis kembali.              Nah hari ini aku ingin menceritakan bagaimana serunya menjadi teman bermain anak-anak gemes nan lucu. Setiap pagi aku sudah harus berada dimana mereka menantiku. Senang rasanya disambut dengan wajah yang lugu dan lucu, menghampiriku, meminta berjabat dan mencium tanganku. Akupun selalu membalas setiap sapaan mereka dengan senyum merekah, merekapun kembali berlari bermain bersama. Menyenangkan sekali melihatnya.                Anak-anakku berasal dari banyak latar belakang, dari berbagai macam bentuk keluarga, dan berbagai macam pola asuh ya...