Hai sahabat pena. Kali ini aku akan bercerita
tentang my superman, my hero, and my
everthing. Bukan orang lain, bukan pacar, bukan teman dekat but my lovely dad, ayahku. Sebenarnya
aku lebih suka memanggilnya ayah. Seorang laki-laki yang rela membanting
tulangnya untuk keluarga tercinta. Seorang laki-laki yang selalu melindungi
keluarganya dari bahaya. Seorang laki-laki yang rela berdarah-darah,
terseok-seok, terhantam bahaya di sana sini hanya untuk anaknya yang tidak tahu
diri ini. Yaps. Dia ayahku. Entah bagaimana aku akan memulai menceritakan sosok
beliau, aku pikir tidak akan pernah bisa menceritakan semua pengorbanan yang ia
berikan.
Aku adalah satu-satunya putri diantara putra-putra
dari ayahku. Bukan berarti aku manja dan diperlakukan berbeda. Ayahku selalu
berkata bahwa aku dan kakak adik laki-lakiku sama. Sama-sama anaknya. kata
beliau bergurau ketika berkumpul bersama di ruang tengah saat mati lampu disuatu
hari yang gerimis. Aku masih ingat betul suasana itu. Sangat menentramkan.
Salah satu moment yang aku rindukan hingga saat ini.
Ayahku hebat, meskipun dia tak banyak bicara,
meskipun ia lebih memilih mendengarkan daripada mengomentari perbuatan anak-anaknya
termasuk aku yang sering bikin jengkel ini. salah satu cirri khas beliau ketika
sedang marah karena melihat kenalan anaknya adalah diam dan langsung bertindak.
Ayahku jarang marah. Karena lebih sering ibuku. Dulu ketika aku masih kecil aku
akan takut sekali jika ibuku marah karena suasana rumah akan berubah mencekam.
Tetapi sekarang, aku sudah bisa mengatasinya ketika sang ratu dirumah marah.
Lucu bukan? That’s real, my mom the best-lah.
Ayahku bukan tipe orang yang suka berkata-kata. Bisa
dibilang bukan tipe laki-laki yang romantis. Itu terbukti dengan cerita-cerita
ibuku yang sepertinya tidak pernah diberikan kata-kata romantis oleh ayah.
Haha. Ayahku memang ebih suka bertindak langsung. Terkadang aku suka merasa
bersalah ketika sedang dilanda malas dan nakal. Karena disitulah aku menyia-nyiakan
perjuangan laki-laki itu.
Saat ini aku berada di tanah rantau, meskipun tidak
jauh-jauh amat tetapi aku hanya pulang satu bulan sekali. So you know what I feel, yaps kangen. Kadang suka kangen banget
sama isi rumah, kalau ketemu emang nyebelin tapi
kalau jauh kangen juga, itulah saudara. Aku tidak pernah abstain pergi ke sawah
ketika aku pulang ke rumah karena kupiki aku lahir dan besar dari sana.
Ibuku sering bercerita saat aku kecil bahwa aku
sering diajak ayahku ke sawah untuk bermain layangan. Maksudnya ayahku yang
bermain layangan dan aku ditinggal diantara tanaman-tanaman di sawah. Entah
bagaimana keadaannya, aku sangat geli membayangkannya. Bukan, bukan itu alasan
mengapa aku sangat suka sawah. Ayahku adalah petani. Dia sering pergi ke sawah
untuk merawat tanamannya. Ah lebih tepatnya selalu. Dia selalu pergi ke sawah
setiap hari. Begitu juga dengan Ibu.
Ayahku bekerja keras di sana, ayahku membanting
tulang di sana, ayahku tak gentar menghadapi matahari pagi siang dan sore di
sana, dia tak takut hujan di sana. Ini bukan majas hiperbola tetapi memang
begitu kenyataannya. Sebelum sarapan dia sudah berada di sawah membawa senjata
andalannya, apalagi kalau bukan alat-alat tajam seperti cangkul dan sabit. Ayahku
keren bukan?
Aku kira semua anak di dunia ini juga merasa begitu.
Apalagi anak perempuan satu-satunya, semakin bertambah dewasa semakin mengidolakan
sosok ayah, iya kan girls?
Komentar
Posting Komentar